Ditengan hiruk pikuk canda gurau kami malam itu terdengar suara laki-laki tua paruh baya di pintu belakang sekitar 50 cm dari seatku, “Kopi goreng.. kopi goreng…”, dan semua dari kami menoleh heran ke belakang pada laki berbaju lusuh, tidak rapi dan sekilas seperti pengamen jalanan. Walaupun tak seorangpun menyapa, penjual asongan tersebut tetap berdiri di pintu dengan terus menawarkan kopi, secangkir teh hangat, jamu, dan beberapa mie instant pengganjal sejengkal perut, seolah sinisnya pandangan kami tak membuatnya minder dan pergi.
Melihat kekehnya perjuangan perjuangan pedagang tesebut aku terbang melayang entah kemana. Aku berfikir Ya Allah betapa mulianya pedagang ini, dengan penuh sabar dan kerja keras tak perduli sinisnya mata tajam, kelam, dinginnya malam dan lelah letih menyusuri kegelapan tetap berusaha dan bekerja seolah tanpa beban. Kira-kira hingga setengah jam ia terus berdiri dan menawarkan tetapi tak satu orang jua membeli hingga salah satu teman kami Tinton yang telah kelaparan memaksakan diri membeli mie instant padanya, kemudian aku menyusul juga membeli yang sama karena sudah seharian di jalan tidak makan.
Tak lama berselang hampir semua dari kami menyantap mie instant yang ditawarkan. Walaupun dagangannya tak sampai habis setidaknya malam itu hampir setengah atau lebih dari dagangannya telah terjual di pintu bus kami. Seraya mengucapkan Alhamdulillah dan selamat jalan sang pedagang pamit dan pergi.
Dari sana aku terus berfikir betapa agungnya Tuhanku yang telah menjamin rizki hambanya. Ya, Allah swt telah menjamin rizki hambanya yang berdo’a, bersabar dan berusaha, karena apapun yang kita lakukan dengan segenap usaha maka niscaya Allah swt akan menunjukkan kebesarannya, itulah tanda-tanda kebesaran-Nya bagi orang-orang yang mengetahui... Afala ta’qiluun...
Djogyakarta, Agustus 2008
Bingkisan dari Bali, 08
Tidak ada komentar:
Posting Komentar