Kamis, 29 Agustus 2013

Titik Terendah



Jangan bayangkan kamu menemukan titik terendah dari suatu wilayah, dataran, atau bagian manapun disini. Titik terendahku bukan tentang itu, karena aku benci geografi karena titik terendahnya statis. Tidak seperti titik terendahku dan beberapa orang lainnya. Memang benar sih, titik terendah selalu dibahas para ahli geografi, geologi, atau siapa sajalah yang ada hubungannya dengan bumi. Titik terendah kami, kalau kamu tidak mau kusebut kita itu jauh berbeda. Ya seperti perbedaan jarak kutub utara dan selatan, walaupun sama-sama kutub, jangan harap kamu bisa menyatukannya, ngimpi 1000 tahun juga kamu tidak mampu. Bukan aku merendahkanmu, tapi ini nyata. Jangan marah ya, karena memang kamu tidak akan bisa, buktikan saja dah kalau kamu mau, tapi jangan minta bayaran ok!.


Sudahlah, yuk kita lupakan kamu dan kembali pada titik terendahku. Titik terendah disini adalah sesuatu yang terkadang nyata tetapi juga abstrak. Mungkin kamu tidak akan melihatnya hingga kamu merasakan dengan hatimu. Butuh sensitifitas yang tinggi untuk dapatkan itu, sangat special dan saking spesialnya, hanya beberapa orang saja diantaramu yang mampu merasakannya. Apa yang kamu pikirkan?

Ya, aku setuju-setuju saja dengan apa yang kamu pikirkan, tapi jangan berlebihan ya takut kamu nyasar. Bebas berpikir tapi tetap dalam batasnya, dan jangan terlalu jauh karena kamu tidak akan pernah kembali. Sekali lagi jangan terlalu jauh. Abstrak seperti melewati kuburan, beberapa orang diantara kamu akan merinding, dan sebagian yang lain bengong biasa seperti kebo berkulit tebal alias tak berpengaruh sama sekali.

Semua orang pernah berada di titik terendahnya. Tentu dengan segala macam kompleksitas problematika hidupnya masing-masing. Sesuai scenario tuhan yang maha agung, karena pada intinya kita hanya wayang wayang tak berdaya, yang ceritanya sudah diatur sedemikian indah. Tapi semua itu tidak akan pernah kita sadari keindahannya tanpa meresapi dengan hati, mendengarkan dalam hening, dan menarikan dengan tarian yang indah dan itu hanya terwujud jika semuanya pakai hati. Bukan menggantungkan hatimu, tapi menyempurnakan peranmu dengan sepenuh hatimu alias dengan niat yang tulus dan penuh perasaan.



Tidak menjadi soal sebenarnya berada di titik terendah. Karena titik terendah milik semua orang, kalau disadari. Kalau tidak disadari, maka kita tidak pernah sadar potensi. Berada di titik terendah sebenarnya merupakan sebuah sekolah. Ya, sekolah luar biasa. Sekolah kepribadian, sekolah pertaruhan, sekolah tantanga, sekolah, sekolah, sekolah, dan sekolah… intinya sekolah yang akan memberikan pengalaman berharga untuk langkahmu ke depan. Tapi, sekolah ini butuh dilanjutkan bro,gak bisa setelah sekolah kamu diam tak bergerak. Karena itu sekolahmu tidak akan memberikan apapun.



Sekolah di titik terendah merupakan sekolah introspeksi, sekolah gerakan, sekolah seni, dan sekolah segalanya. Sekolah di titik terendah mengahruskan kita bergerak ke depan, belakang, atas bawah, dan zigzag kalau memungkinkan. Jika gerakan itu bagus, maka kamu akan berada di titip paling atas atau bahkan bisa lebih dari itu. Ini makanya beda dengan titik terendah bumi atau lainnya, karena sekali berada di titik terendah, maka sampai akhir masa ia tidak akan berubah. Kecuali tuhan membalikkannya ke atas, itupun dengan kutukan seperti kutukan untuk suatu kaum zaman dahulu kala yang termaktub dalam Al-Qur’an.


Tetapi titik terendah kita kan tidak demikian bro. Kita bisa lebih tinggi, lebih baik, lebih bermartabat setelah berada di titik terendah. Dan yang paling penting, kita bisa lebih peduli, lebih manusiawi, lebih sosialis, lebih, lebih, dan lebih lagi terhadap semuanya. Ya, lebih dapat merubah pandangan kearah lebih baik  (Kalau kamu mau bilang demikian).


Ya sudahlah, dititik manapun kamu berada sekarang, jangan lupa bersyukur ya. Ya, mudah-mudahan Ia yang baik hati bisa membuatmu lebih baik. Mungkin bukan karena kamu baik, keren, atau blab la bla.. tapi paling tidak kamu bersyukur dengan apa yang kamu dapat/anugerahnya. Karena janjinya yang pasti itu adalah “barang siapa bersyukur, maka akan Aku tambahkan nikmatku”, jangan bilang siapa-siapa tentang ini ya. Banyak yang belum tahu. Hehe, Tanya saja mereka kalau kamu tidak percaya. Aku pergi dulu ya, sampai nanti…(berlalu pergi).


Rabu, 28 Agustus 2013

Pernah (Mimpi)



Aku kenal langit ini dengan baik
Aku tahu apa yang mungkin tidak kamu ketahui
Pernah juga berdiri dan terbang disini
Begitu tinggi, hingga lupa bagaimana caranya untuk turun
Kaki kecilku sempat tak berpijak sempurna disini
Tapi kunikmati itu sebagai rahmat
Juga pernah bermimpi
Mimpi begitu besar
Hingga semua takut
Takut tertutupi besarnya mimpiku
Tapi bukan untukku
Itu untukmu, untuk kita, dan kita semua
Mimpi yang membawa damai
Kedaiamaian untuk mereka
Tapi kini…
Mimpi-mimpi itu kubakar perlahan
Kuhilangkan hingga serbuk serbuk terakhir
Tidak mau mengingatnya
Karena mimpiku, bukan mimpimu bukan mimpi kita semua
Mimpiku hanya untuk sebagian kecil di bawah
Bukan sebagian besar di atas
Mimpiku mimpi yang sempurna
Bukan seperti mimpimu yang tenang kenyang
Mimpiku butuh usaha dan pejuang
Butuh semangat dan kerja keras
Butuh kebulatan tekat dan tanggung jawab
Bukan mimpimu yang hanya duduk, diam
Menuangkan kopi dan mendengarkan
Music sendu mendayu
Melenakan
Selamat tinggal semuanya
Kukabarkan apapun
Untukmu
nanti


Pergi bukan untuk kembali



Kita telah lama disini duduk bersenda ria bersama. Saat panas terik, hujan angin, dan saat matahari terbit. Tak banyak yang tau ketika kita seperti marmot-marmut kecil di kebun belakang. Berlari bersembunyi dibalik dahan dahan kecil sayuran hanya takut pada tikus tanah berwarna gelap. Tak banyak yang tahu juga, ketika kita elihat bintang saat orangorang terlelap entah kemana. Bintang-bintang itu bintang kita, bintang keabadian, yang hanya kita lihat saat fajar akan tiba, saat semua orang menyembunyikan matanya. Tapi, itu dulu…



Dulu sekali, saat dunia masih hanya milik beberapa orang. Saat kita hanya mengenal satu tanah, saat laut hanya yang kita lihat, dan saat matahari hanya tahu kita saja. Sekarang berbeda. Kutahu matahari kini tak se-setia dulu, matahari begitu liar. Ia tak hanya melihat kita, tapi juga semuanya, dan bahkan ia berbagi sinarnya. Sekarang laut begitu banyak, lebih mengagumkan, dan sekarang juga bintang-bintang itu menjauh. Seperti aku yang terus menjauh darimu.




Ya, aku bahkan sudah lupa bagaimana senyummu dulu. Senyum saat engkau tulus ataupun terpaksa. Aku juga lupa, berapa lama aku telah pergi dan pergi lagi. Karena kau juga pernah pergi bukan, pergi jauh dan jauh sekali dan memberi batas. Batas senyum yang hanya untuk sekelilingmu, batas sapa yang hanya untuk yang kau lihat, dan batas do’a yang hanya untuk yang kau sentuh, juga batas harap yang hanya untuk yang memelukmu erat. Dan aku, pergi, pergi dan pergi. Jauh sekali, hingga aku lupa dimana, kemana dan bagaimana untuk kembali. Walaupun pernah berharap untuk, tapi tidak… karena pergiku untukmu, pergi menjauh dan tidak akan kembali. Karena seyogianya yang pergi bukan untuk kembali dan yang telah pergi tak akan kembali.


Hanya Untuk Jalan yang tersisa

Dunia sekarang begitu membosankan, seperti sekuel film-film lama yang ceritanya tak pernah habis hingga bintang-bintangnya sakit, mati, dan berganti lagi. Langit seakan dipenuhi dengan gumpalan-gumpalan kapas hitam melayang-layang. Menutupi sinar terang dan indahnya senja. Dunia hanya penuh dengan mata mata melirik tajam, dengan sudut mata picing memuakkan.

Dunia ini, nyaris dipenuhi manusia manusia bermata srigala. Membidik tajam menerkah. Ouh tuhan, dimanakah mata mata indah menatap sayu nan lembut. Menyapa merdu dibalik kipas kipas keabadian. Memeluk hangat dengan sumringah, dan membelai lembut walau saat panas terik hujan petir sekalipun.

Ouh sudahlah, kupanggil realita dinia sekelilingku. Ini seperti terdampar di taman kaktus gurun. Tidak ada perlindungan apapun kecuali dahan dahan kaktus dengan simpanan air yang banyak. Sudah tidak ada yang diharapkan kecuali bangun dan teriakkan semangat. Kuatkan langkah, katakana pantang menyerah hingga bertemu dataran landai dengan beberapa pepohonan rindang.



Sudah tidak saatnya bertanya kenapa pergi dan terdampar di gurun kering menyakitkan ini. Banyak yang lalu lalang memang, tapi jangankan menghampiri, mengangkat langkah dan menolehpun mereka sudah tak mampu. Sudahlah sudahlah…. Perjalanan masih panjang, ayo semangatlah. Jangan perdulikan apapun kecuali jalan panjang terbentang di depan mata. Lupakan semuanya, ihklaskan langkah kemarin untuk orang-orang yang ditemui dijalanan itu. Mudah-mudahan rahmat buat mereka, itu cukup. Sudahlah, jangan menoleh lagi, karena hidup untuk jalan itu, bukan jalan kemarin. Ini jalan yang benar. Jalan yang akan membawa pada kerumunan orang-orang yang saling berpapasan, bergandengan tangan, tersenyum lembut, bernyanyi dan menari indah dengan lantunan musik yang sama. Yang menari dengan suka cita, dan yang bersenda dengan nada nada yang tulus.

Biarkan mereka bertanya dan bertanya. Biarkan suara suara itu menguap hampa terbang jauh melewati langit. Tak ada suara suara yang mengusik, karena seribu tanyapun sudah tidak ada guna. Sejuta pelukan dan sapaan mesra tidak akan merubah apapun. Biarkan mereka mengumpulkan puing puing kertas putih kuning hitam dan membacanya. Karena disanalah jawaban termaktub. Ada banyak kata disana. Derai tawa tangis bahagia lelah sumringah dan hampa semua disana. Biarkan mereka membacanya, menyesal dan menemui tuhannya. Karena yang pergi tak akan pernah kembali.